Artikel Terbaru

Monday, October 10, 2016

Catatan Kecil Kang Mul Seminar Bahasa Penginyongan Posisi Basa Penginyongan Dalam Naskah Babad Banyumas Pada Tahap Awal Oleh Prof.Dr.Sugeng Priyadi,M.Hum Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Diaelek Banyumasan sebagai salah satu dialek yang berkembang di dalam peradaban Jawa sesungguhnya berada pada usia yang lebih tua dari pada bahasa Jawa sehingga ia tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari bahasa Jawa. Keberadaaan dialek tersebut merupakan warisan Majapahit, Hal itu dinyatakan dalam naskah-naskah babad bahwa Banyumas yang pada waktu itu disebut Wirasaba ( Witen Sohan) merupakan bagian Majapahit yang paling barat, yang berbatasan dengan Pasirluhur.
Kota Purwokerto (baca:Purwakerta) yang berada di sebelah timur Sungai Banjaran dan disebelah bbarat Kali Bodas diduga merupakan daerah batas anatara Wirasaba dan Pasirluhur Toponim Paguwon sebagai desa cikal bakal kota Purwokerto yang dibangun tahun 1932 secara darurat itu berpotensi sebagai kota kedua. Tradisi lisan masyarakat Purwokerto menyatakan bahwa tempat klenteng Hok Tek Bio adalah kediaman penguasa Purwokerta yang berada disebelah barat Kali Putih, sedangkan Pasar Wage itu dulunya alun-alunnya, Purwakerta berasal dari perserikatan empat desa yang terdiri atas Purwakerta Lor, Purwakerta Wetan, Purwakerta Kidul dan Purwakerta Kulon.
Paguwon sering lengket dengan beberapa nama Adipati Wirasaba menurut versi Babad Banyumas tertentu. Sebenarnya, Paguwon itu bukan nama diri seseorang, tetapi nama lain dari Wirasaba. wirasaba itu nama yang berasal Babad Banyumas, sedangkan Paguwon dari Pararaton atau Negerakertagama. Paguwon merupkan bacaan dari Paguhan, yaitu sebuah bagian Majapahit yang dilekatkan kepada seorang Raja Kecil Bhre Paguhan atau Batara I Paguhan, Oaguwon atau Paguwan adalah sisa-sisa ingatan masyarakat Banyumas terhadap daerahnya.
Ekstistensi bagian dari Majapahit menjadi kebanggan masyarakat Banyumas swhingga tes-teks Babad Banyumas selalu menenekmoyangkan Raja tersebut., Legitimasi tersebut memang umum sebagaimana banyak ditemukan pada teks-teks sejenis di Jawa. babad Banyumas distu berkedudukan sebagai tradisi besar yang membawahi tradisi kecil yang masih hidup dalam kelisanan di pedesaan. Tradisi besar tadi diimbangi oleh tradisi besar lain yaitu babad Pasirluhur, Kenyataan menunjukkan bahwa Banyumas adalah serambi kebudayaan sunda jika dilihat dari Jawa, atau seblaiknya serambu kebudayaan Jawa bila ditatap dari Sunda. Ada kemungkinan bakwa bahasa Jawa Kuna itu berhadapan saling berkomunikasi dengan bahasa Sunda Kuna pada masa-masa akhir Kerajaan Majapahit dan Kerajaan sunda atau sebelumnya
Namun tampaknya, Jawa Kuna lebuh dominan di dalam perkembangannya karena kisah babad Banyumas terkandung dalam karya Pangeran wangsakerta , Pustaka Rjaya-Rajya I Bhumi Nusantara (purwa 2, sargah 4). Ada dugaan bahwa pada abad ke-17, di banyumas terdapat naskah berbahasa Jawa Kuna yang dibawa ke Cirebon pada tahun 1980. sampai hari ini belum ditemukan teks Babad Banyumas atau Babad Pasir dalam bahasa Sunda Kuna atau Sunda. Pengaruh Sunda yang tampatk kuat adalah Kisah Kamandaka atau Lutung Kasarung dalam teks Babad Pasir dan kosa kata bahasa Sunda atau Sunda. Peran orang Sunda terhadap bahasa Jawa Kuna atau dialek Banyumas tergolong kecil karena orang Sunda sendiri selaku kagok berbahasa Jawa meskipun mereka sudah pernah tinggal lama di Jawa, Sanghyang Siksa Kanda ng Karestan sendiri menyatakan hal itu, selain juga sifat orang Sunda yang mempunyai ego yang besar untuk selalu berbahasa sunda eskipun hanya dua orang saja.
Teks yang dijadikan acuan oleh Pangeran Wangsakerta kelihatannya tidak identik dengan Naskah Kalibening sebagai naskah tertua Babad Banyumasan yang juga berasal dari abad ke-17. Seperti halnya di majapahit, tampaknya di banyumas juga hidup bahasa Jawa Kuna di satu sisi, dan berkembang bahasa Jawa.Pertengahan di sisi lain. Naskah-naskah lontar di Banyumas, agaknya, hanya menjadi legenda saja karena kisah keberadaanya ditutur orang-orang tua, tetapi belum ditemukan warisan tradisi lontar hingga sekarang. Ada kemungkinan tradisi lontar telah bergeser ke penuisan naskah dengan kulit kayu. Hal itu terbukti dnegan penemuan salah satu naskah dari abad ke-17 di Kalibening, dawuhan, Banyumas. Naskah lain yang juga berbahasa Jawa Perengahan berisi ajaran Tasawuf heterodhoks. Bahasa Jawa Pertengahan inilah yang menjadi ennek myang bahasa dialek Banyumas di dalam perkembangan selanjutnya.
Tradisi keberaksaraan yang pernah ada pada abad ke-17, warisannya sangat terbatas yang masih lolos dari seleksi alam. Keberlanjtan peradaban abad tidak ada sisa-sisa yang berbekas dalam kehidupan sehari-hari, Orang-orang yang melek huruf kiranya juga terbatas karena ada tempat-tempat yang disebut ahli Filologi sebagai skriptorium atau sejenis padepokan-padepokan Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan.
Ada jurang yang terpisahkan antara teks babad ke -17 dengan abad ke-19. Ada satu abad , para penulis dan penyalid babad yang karyanya bisa diperoleh karena tidak sampai kepada masa sekarang. Namun kemungkinan besar adalh tidak ada karya-karya yang ditulis atau mengalami kemacetan budaya sehingga ruh Jawa Kuna dan jawa Pertengahan tidak berlanjut dan amsyarakat Banumas hanya bisa menikmati naskah Kalibening sebagai satu-satunya saksi sejarah keberadaan bahasa warisan nenek moyang. Diintegrasi budaya initidak bisa menjelaskan proses mendialekbanyumakan dari Jawa Kuna atau Jawa Pertengahan ke arah yang kita kenal sekarang. Tidak heranlah, jika teks mula yang emnggunakan dialek banyumasan itu bekum ditemukan, Padahal apada awal abad ke -18, posisi banyumas di Keraton Mataram sedang naik dan memerlukan legitimasi, terutama bagi para Bupati yang memakai Yudanegara, yang dimulai dari tokoh leluhr yang bernama Mertayuda I.
Akibat Mertayuda II(Yudanegarai, tumenggung Seda masjid) dan Yudanegara II (Tumenggung Seda Pendapa) mendapat hukuman Raja mungin inilah yang enyebabkan kekososngan karya selama satu abad, Kiranya pujangga Banyumas tidak berani menulis Babad Banyumas yang penuh legitimasi. Ksah wangsa Yudanegara baru muncul keyikaYudanegara III menjadi Pepatih daelm Kasultanan Yogyakarta. Di yogyakarta, berkembang subur penulisan Babad Banyumas versi Danurejan, baik gancaran maupun tembang.
Paling tidak pada tahap awal, bisa dijelaskan bahawa babad Banyumas dalam bahasa Jawa Kuna telah ditolong dengan kenyataan teks yang terkandung pada karya Wangsakerta dari tahun 1980. Setelah itu, babad Banyumas yang tertulis pada naskah Kalibening memberi tanggapan dalam bentuk bahasa yang lebih muda denganmasih membawa sisa-sisa karakter Jawa Pertengahan yang egaliter , ayng oleh orang amsa sekarang disebut ngoko dari karya Wangsakerta yang berbahasa dari Jawa Kuna. Hal itu didukung oleh huruf yang dipakai juga berasal dari abad ke-17. Selanjutnya, naskah-naskah yang lain lebih banyak mengandung kosa kata yang oelh Pigeaud atau sifatnya sebagai kata-kata yang sulit yang akan dimasukan ke dalamkamus yang akan disusunnya. Pigeaud memberi catatan pada margin kanan setiap halaman terhadap kata-kata tersebut, yang sebenarnya kosa kata dialek Banyumas yang berbaur denga bahasa Jawa odern dari hasil sistem pendidikan kolonial, setelah Belanda menguasai banyumas setelah Perang Diponegoro berakhir.
Selesai.
Karangnangka 17 April 2016
Mulyono Harsosuwito Putra
Institut Studi Pedesaan dan Kawasan

0 comments:

Post a Comment