Jika kita melangkah ke tetangga sebelah barat yaitu Jawa barat kita
sering iri karena begitu masuk bandung sebagai pusat kota paling besar
di Jawa Barat masih banyak ditemukan remaja Bandung berbicara antar
mereka dengan bahasa Sunda tanpa harus merasa minder. Kemudian jika kita
pergi ke arah timur , tepatnya masuk wilayah Jawa Timur dan tinggal di
surabaya kota terbesar di Jawa timur kita juga masih menemukan mayoritas
anak-anak muda mereka berbahasa dialek Jawa Timuran dengan logatnya
yang khas, Jangan heran di wilayah ini kita masih menemukan majalah
berbahasa Jawa "Jayabaya" dan "Penyebar Semangat" masih bertebaran dan
ekksis sampai sekarang.Nah bagaimana dengan kota terbesar Jawa tengah?
Semarang, misalnya?
Di Semarang ,sikap loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa pernah diteliti setidaknya menunjukkan bahwa keluarga Jawa mengalamai kemerosotan yang signifikan mengenai keluarga Jawa terhadap bahasanya. Dilihat dari usia, generasi penerus usia sekloah mlai dari umur 5-16 tahunhanya 37% di kota kecil dan 14% di kota besar ini terjadi tahun penelitian 2004. Sudi Utama dkk mengadakan penelitian ulang pada tahun 2009 menemukan kenyataan yang sangat engejutkan terutama di Kota Semarang menunjukkan sikap loyalitas pada usia 5-16 hanya 9%>Kurun lima tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan.
Selama ini selalu dua alasan sebagai faktor pemicu yaitu internal dan eksternal. Faktor internal diyakini karena kurang percaya diri atau "pede". Sementara itu, faktor eksternal yang menjadi "kambing hitam" adalah budaya global.. Gejala bahsa semacam ini dapat kita lihat pada kasus bahasa Jawa yang hidup di daerah eks Karesidenan Banyumas dan sekitarnya<Yang saya maksud adalah kausus meerosotnya loyalitas keluarga Jawa yang berbahasa Panginyngan istilah basa Panginyongan dikenalkan pada masyarakat terutama dengan munculnya gagasan Konggres Basa Panginyongan untuk membendung istilah "Basa Ngapak". Di luar wilayah eks Karesidenan Banyumas terutama di kota besar "Basa Ngapak" sangat dikenal jika dibandingkan dengan Basa Panginyongan. Bahkan dimedia merasa enak didengar slogan "Ora Ngapak Ora Kepenak" .
Sayangnya munculnya istilah Ngapak sangat dipengaruhi aspek politis bahasa bahwa selain bahasa yang dipandang baku (Solo-Jogja) dan bahasa di kota besar seperti Semarang dan sekitarnya bahasa di wilayah wks Karesidenan Banyumas dan wilayah Tegal dipandang "Ndesa" dan tidan "miyayi". Pandangan ini sebenarnya susah dibuktikan tetapi ditataran praktis penutur bahasa yang dipandang baku memperlihatkan sikap "meremehkan" .Trend ini bahkan merambah ke dunia hiburan, bahasa Jawa yang kita sebut Basa Penginyongan justru dimanfaatkan untuk bahan tertawaan.
Pandangan menegnai kurang "pede" ini sangat mungkin namun belum ada penelitian yang memadai mengenai hal ini, Begitu juga pengaruh budaya global merubah dampak kemerosostan sikap loyalitas bahsa juga belum ada penelitian yang memadai. paling banter sinyalemen yang seolah membenarka adagium tersebut. Budaya global merupakan hal yang tidak dapat kita hindari. Manakala kita membendung dengan menutup diri sebagai bangsa tidaklah mungkin ,Mnegisolasi diri adalah keniscayaan pada era sekarang. ini
Ada kesan sebagai contong negara seperti Jepang, China dan Korea tak terkecuali juga dilanda budaya global. namun apakah mereka tergilas oleh budaya global? ternyata justru mereka mampu ikut bermain dalam pusaran global . Justru budaya mereka sekarang melanda kita menandingi budaya Barat yang terlebih dahulu melanda kita Bukankah Bandung dan Semarang juga seperti kita mengalami benturan budaya global.? Pada siang ini marilah kita bicarakan kemungkinan berbagai faktor lain, selain tersebut diatas serta strategi supaya bahasa Penginyongan dituturkan , minimal dala ranah keluarga.
Ada banyak faktor lain yang memunginkan merosotnya loyalitas anak muda atau masyarakat tutut Basa Pangiinyongan yang dapat kita diskusikan siang ini. Bahwa menggunakan bahasa Panginyongan bagi anak muda terutama jika mereka pindah tempat seperti karena tuntutan studi lanjut ke kota besar menjadi kurang enak atau kurang"sreg".Pertama lawan tutur mayoritas buakn berasal dari daerah yang sama. Namun , yang membuat kita heran dan kagum bahwa masyarakat tutur kita sangat gampang adaptif. Artinya sangat gampang menyesuaikan bahasa dan logat dimana mereka tinggal.
Faktor lain yang menyebabkan merostnya loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa misalnya bagi orang tua dan anak muda adalah kurangnya kesadaran bahwa bahasa adalah identitas. Wilayah atau Basa pangingonyanmerupakan wilayah agraris dan masyarakatnya memiliki mata pencaharian bercocok tanam,Denga demikian Kebudayaan Penginyongan yang dihasilkan tentulah bercorak agraris. Salah satu ciri agraris yang dominan adalah kebersamaan (guyub) seperti terlihat pada aktivitas megolah tanah pertanian, membuat rumah, memanen padi, makan bersama, menari bersama.Oleh karena itu tidaklah aneh semua bentuk budaya yang dihasilkannya menjadi milik bersama (collectivity) .Hal ini sangat berbeda dengan bahasa keraton yang diciptakan oleh para Pujangga melalui cara " mesu brata' sehingga sangat rumit , njilmet, dan menurut kaca mata mereka dinamakan "adhiluhung". Belum ditemukan catatan literer kapan Basa Panginyongan sebagai produk budaya masyarakat Panginyongan muncul.Ada dugaan bahwa munculnya Panginyongan yang membedakan dengan budaya "Nagarigung" (Solo) dimulai sejak Tragedi Setu Pahing di Balai Malang di wilayah Kedu Purworejo) ketika Adipati Banyumas (ayah mertua Joko Kaiman atau Adipati Mrapat) dibunuh oleh pesuruh Sultan Pajang. Karena kekeliruan irulah menantu Adipati Banyumas dijadikan pengganti ayah mertuanya diangkat menjadi Adipati..Hal ini disebabkan tak seorangpun anak Adipati Banyumas yang berani datang ke Pajang memenuhi undangan Sultan.
Namun demikian dari segi linguistik dugaan tersebut menjadi terpatahkan.Kebudayaan Banyumasan sudah ada jauh sebelum peristiwa "Balaimalang" sejak manusia mendiami tlatah Banyumas Bahasa banyumaasan atau Panginyongan menjadi penanda hal tersebut terutama dari segi fonem dan morfem yang condng memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa Kuna, Sekedar contoh kta "neng kana" ....ngkana (Jawa Kuna) maring dalam bahasa Jawa Kuna (maring) niki,inyong ....(i ngong) , rika ( Jawa Kuna:rika,i rika). Ucapan bunyi a diakhir kata seperti rika,ngapa, tidak diucapkan sopo,ngopo tapi tetap. Bunyi a i u e o e sangat jelas diucapkan. Begitu pula bunyi k dan g di akhir kata tetap kedengaran dengan jelas seperti ndhog, pitik, jangkrik, wareg. Inilah ciri fonemis yang sangat dominan dalam bahasa Jawa dialek Banyumas sehingga bahasa tersebut dikenal bahasa Ngapak atau Panginyongan.
Budaya panginyongan yang menjadi milik bersama tersebut dengan demikian bersifat terbuka. Ambil contoh di bidang seni , seni Ebeg atau Embeg(Kuda Kepang) misalnya sangat terbuka.Penonton bisa jadi ikut menari karena trance(Mendem) Kostum dan riasan sangat sederhana. Pertunjukkan Calung pada saat tertentu mengajak penonoton ikut menari bersama penari.
Dalam wilayah budaya Jawa, budaya masyarakat tutur Penginyingan menjadi ciri pembeda dengan budaya Keraton sebagaimana dijelaskan didepan. Budaya Keraton diciptakan oleh pujangga,tertulis, rumit, sakral dan tertutup. Senaliknya, produk budaya masyarakat tutur Penginyongan bersifat anonym, collection, tradisi lisan sopran dan terbuka .Simpulan ini dapat dilihat pada setiap produk budaya masyarakat tutur Penginyongan terutama dari jenis seni. Seni wayanggagrag salah satu daerah bahasa Penginyongan , misalnya Banyumasan bentuknya pendek sunggungan, sederhana (jarang dan besar-besar0, pewarnaanya menggunakan jenis warna yang cenderung kusam (merah saga).
Hal ini berbeda dengan gaya Solo , jenis wayang panjang, sungingan rumit, pewarnaanya sangat detail dan beraneka, cerah sehingga terkesan mewah.Bentuk wayang gaya (gagrag) solo tidak sama dengan gagrag banyumasan. wayang Werkudara gagrag Solo pakaian (kain celana) sampai dibawah lutut, sebaliknya Bima gagrab Banyumas lututnya kelihatan. Bentuk wayang Solo pastlah kurus tinggi, dengan tatahan dan pengecetan (sungging) yang sangat rumit. Sebaliknya wayang Banyumasan bentuknya pendek dan gemuk serta disunging dengan sederhana. Meskipun wajah wayang Bima, gatutkaca, Antareja berwarna hitam namun diberi kumis bercat merah. Tidaklah aneh sebuah wayang ukuran kecil gaya Solo harganya pastilah mahal. sebaliknya wayang gaya Banyumasan pastilah murah. Keadaan ini justru menguntungkan karena gaya Banyumasan menjadi gampang didapat kondisi ini saya alami sewaktu masih kecil sekitar tahun 1970-an.
Pada seni gerak tarian sangat sederhana dan berulang-ulang sehingga sangat mudah ditiru penonton. Pada corak batik , jika corak Solo runcing-runcing dan isinya rumit, gaya Banyumasan bercorak sederhana bulat-bulat isisnya sangat jarang. Warna batik Banyumasan sangat khas dibandingkan warna batik Solo yang beraneka dan terkesan mewah. Pakaian adat Solo dan Banyumas pastilah berlawanan. banyumasan menggunakan ikat kepala yang praktis dan gampang dibongkar berwarna gelap sementara gaya Solo rapi , terbentuk dan beraneka corak. Senjata masyarakat Jawa Keris yang berbentuk runcing sementara Banyumasan berbentu kbulatt disebut "Kudi".Meskipun jenis kuliner Banyumasan beraneka namun umumnya rasa didominasi oleh rasa asin dan pedas berbeda dengan rasa nagarigung yang dominan manis dan bersantan
Ciri pembeda itulah yang menjadikan budaya masyarakat tutur Penginyongan termasuk Basa Penginyongan itu sebagai identitas yang berbeda dengan wilayah bahasa lain di Jawa ini, bahkan di Indonesia, Inilah ciri pembeda mengapa Bahasa Penginyongan ebagai produk budaya Penginyongan memiliki sifat yang sangat terbuka dan setara (Egaliter?).Kendati ang sangat kaya ini justru banyak yang tidak dimengerti bukan saja oleh anak muda tetapi justru oleh orang tua.
Salah satu cara mengatasi ketidak"pedean", ketidakmengertian dna kurangnya kesadaran berbahasa Jawa Penginyongan perlu disusun arah dan strategi yang jelas. Arah kebijkan , misalnya difokuskan kepada remaja usia sekolah dengan strategi melalui jaur pendidikan formal mulai dari anak usia dini, sekolah dasar sampai ke jenkang menengah ke atas. Peran pemerintah dan keluarga sebagai bagian masyarakat enjadisangat strategis. Orang tua harus menjadi teladan dan memberikan ruang kosong bagi anak-anaknya untuk berkembang dengan bahasa ibunya. Strategi berikutnya adalah perlunya payung hukum dan media.
Untuk payung hukum kita sudah memiliki Perda, Pergub, dan mungkin Perbup. Tinggal bagimana mengimplementasikan di ranah keluarga , sekolah dan masyarakat. Media menjadi kunci berhasil tidaknya strategi ini. Era global ditandai dengan teknologi iformasi yang snagat maju.Barang siapa menguasai media itulah yang berhasil menguasai segala aspek kehidupan. Inilah klemahan kita sehingga budaya kita menjadi terpinggirkan oleh budaya global.Karena kita tidak atau belum mampu ikut bermain dalam arus pusaran global. Kita seusia saya masih beruntung sewaktu kecil masih dikepung oleh lingkungan budaya lokal melalui berbagai media. Oleh karena itu saya sangat percaya bahwa penggunaan media merupakan kunci lestarinya budaya kita, termasuk di dalamnya Bahasa Penginyongan.Namun, setidaknya jika kita memliki kemauan pasti kita mampu mempertahankan apa yang kita miliki .Sikap loyalitas bahasa bagi keluarga Jawa masyarakat tutur bahasa Penginyongan menjadi penting dan kunci ke arah sikap loyalitas yang positip. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi?
Saniki Mawon Ngendikan Basa Penginyongan
Berdasar uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berbagaifaktoryang mempengaruhi merosotnya sikap loyalitas bagi masyarakat tutur bahasa Penginyongan dapat diatasi melalui arah dan strategi yang jelas. Arah kebjakan ditujukan kepada penerus yaitu anak usia sekolah mulai dari PAUD sampai sekolah menengah. Strategi yang paling efektif memalui jalur pendidikan. Ranah eluarga merupakan kunci suksesnya strategi tersebut karena orang tua adalah teladan bagi anaknya.
Demikian sekelumit makalah ini. semoga dapat menjadi pemantik diskusi siang ini, terima kasih dan dirgahayu maajalh ANCAS semoga jaya dan berkembang, menjadi milik kita, wahana identitas kita.Amin.
Karangnangka 17 April 2016
Mulyono Harsosuwito Putra
Institut Studi Pedesaan dan Kawasan
Di Semarang ,sikap loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa pernah diteliti setidaknya menunjukkan bahwa keluarga Jawa mengalamai kemerosotan yang signifikan mengenai keluarga Jawa terhadap bahasanya. Dilihat dari usia, generasi penerus usia sekloah mlai dari umur 5-16 tahunhanya 37% di kota kecil dan 14% di kota besar ini terjadi tahun penelitian 2004. Sudi Utama dkk mengadakan penelitian ulang pada tahun 2009 menemukan kenyataan yang sangat engejutkan terutama di Kota Semarang menunjukkan sikap loyalitas pada usia 5-16 hanya 9%>Kurun lima tahun menunjukkan penurunan yang sangat signifikan.
Selama ini selalu dua alasan sebagai faktor pemicu yaitu internal dan eksternal. Faktor internal diyakini karena kurang percaya diri atau "pede". Sementara itu, faktor eksternal yang menjadi "kambing hitam" adalah budaya global.. Gejala bahsa semacam ini dapat kita lihat pada kasus bahasa Jawa yang hidup di daerah eks Karesidenan Banyumas dan sekitarnya<Yang saya maksud adalah kausus meerosotnya loyalitas keluarga Jawa yang berbahasa Panginyngan istilah basa Panginyongan dikenalkan pada masyarakat terutama dengan munculnya gagasan Konggres Basa Panginyongan untuk membendung istilah "Basa Ngapak". Di luar wilayah eks Karesidenan Banyumas terutama di kota besar "Basa Ngapak" sangat dikenal jika dibandingkan dengan Basa Panginyongan. Bahkan dimedia merasa enak didengar slogan "Ora Ngapak Ora Kepenak" .
Sayangnya munculnya istilah Ngapak sangat dipengaruhi aspek politis bahasa bahwa selain bahasa yang dipandang baku (Solo-Jogja) dan bahasa di kota besar seperti Semarang dan sekitarnya bahasa di wilayah wks Karesidenan Banyumas dan wilayah Tegal dipandang "Ndesa" dan tidan "miyayi". Pandangan ini sebenarnya susah dibuktikan tetapi ditataran praktis penutur bahasa yang dipandang baku memperlihatkan sikap "meremehkan" .Trend ini bahkan merambah ke dunia hiburan, bahasa Jawa yang kita sebut Basa Penginyongan justru dimanfaatkan untuk bahan tertawaan.
Pandangan menegnai kurang "pede" ini sangat mungkin namun belum ada penelitian yang memadai mengenai hal ini, Begitu juga pengaruh budaya global merubah dampak kemerosostan sikap loyalitas bahsa juga belum ada penelitian yang memadai. paling banter sinyalemen yang seolah membenarka adagium tersebut. Budaya global merupakan hal yang tidak dapat kita hindari. Manakala kita membendung dengan menutup diri sebagai bangsa tidaklah mungkin ,Mnegisolasi diri adalah keniscayaan pada era sekarang. ini
Ada kesan sebagai contong negara seperti Jepang, China dan Korea tak terkecuali juga dilanda budaya global. namun apakah mereka tergilas oleh budaya global? ternyata justru mereka mampu ikut bermain dalam pusaran global . Justru budaya mereka sekarang melanda kita menandingi budaya Barat yang terlebih dahulu melanda kita Bukankah Bandung dan Semarang juga seperti kita mengalami benturan budaya global.? Pada siang ini marilah kita bicarakan kemungkinan berbagai faktor lain, selain tersebut diatas serta strategi supaya bahasa Penginyongan dituturkan , minimal dala ranah keluarga.
Ada banyak faktor lain yang memunginkan merosotnya loyalitas anak muda atau masyarakat tutut Basa Pangiinyongan yang dapat kita diskusikan siang ini. Bahwa menggunakan bahasa Panginyongan bagi anak muda terutama jika mereka pindah tempat seperti karena tuntutan studi lanjut ke kota besar menjadi kurang enak atau kurang"sreg".Pertama lawan tutur mayoritas buakn berasal dari daerah yang sama. Namun , yang membuat kita heran dan kagum bahwa masyarakat tutur kita sangat gampang adaptif. Artinya sangat gampang menyesuaikan bahasa dan logat dimana mereka tinggal.
Faktor lain yang menyebabkan merostnya loyalitas keluarga Jawa terhadap bahasa Jawa misalnya bagi orang tua dan anak muda adalah kurangnya kesadaran bahwa bahasa adalah identitas. Wilayah atau Basa pangingonyanmerupakan wilayah agraris dan masyarakatnya memiliki mata pencaharian bercocok tanam,Denga demikian Kebudayaan Penginyongan yang dihasilkan tentulah bercorak agraris. Salah satu ciri agraris yang dominan adalah kebersamaan (guyub) seperti terlihat pada aktivitas megolah tanah pertanian, membuat rumah, memanen padi, makan bersama, menari bersama.Oleh karena itu tidaklah aneh semua bentuk budaya yang dihasilkannya menjadi milik bersama (collectivity) .Hal ini sangat berbeda dengan bahasa keraton yang diciptakan oleh para Pujangga melalui cara " mesu brata' sehingga sangat rumit , njilmet, dan menurut kaca mata mereka dinamakan "adhiluhung". Belum ditemukan catatan literer kapan Basa Panginyongan sebagai produk budaya masyarakat Panginyongan muncul.Ada dugaan bahwa munculnya Panginyongan yang membedakan dengan budaya "Nagarigung" (Solo) dimulai sejak Tragedi Setu Pahing di Balai Malang di wilayah Kedu Purworejo) ketika Adipati Banyumas (ayah mertua Joko Kaiman atau Adipati Mrapat) dibunuh oleh pesuruh Sultan Pajang. Karena kekeliruan irulah menantu Adipati Banyumas dijadikan pengganti ayah mertuanya diangkat menjadi Adipati..Hal ini disebabkan tak seorangpun anak Adipati Banyumas yang berani datang ke Pajang memenuhi undangan Sultan.
Namun demikian dari segi linguistik dugaan tersebut menjadi terpatahkan.Kebudayaan Banyumasan sudah ada jauh sebelum peristiwa "Balaimalang" sejak manusia mendiami tlatah Banyumas Bahasa banyumaasan atau Panginyongan menjadi penanda hal tersebut terutama dari segi fonem dan morfem yang condng memiliki kemiripan dengan bahasa Jawa Kuna, Sekedar contoh kta "neng kana" ....ngkana (Jawa Kuna) maring dalam bahasa Jawa Kuna (maring) niki,inyong ....(i ngong) , rika ( Jawa Kuna:rika,i rika). Ucapan bunyi a diakhir kata seperti rika,ngapa, tidak diucapkan sopo,ngopo tapi tetap. Bunyi a i u e o e sangat jelas diucapkan. Begitu pula bunyi k dan g di akhir kata tetap kedengaran dengan jelas seperti ndhog, pitik, jangkrik, wareg. Inilah ciri fonemis yang sangat dominan dalam bahasa Jawa dialek Banyumas sehingga bahasa tersebut dikenal bahasa Ngapak atau Panginyongan.
Budaya panginyongan yang menjadi milik bersama tersebut dengan demikian bersifat terbuka. Ambil contoh di bidang seni , seni Ebeg atau Embeg(Kuda Kepang) misalnya sangat terbuka.Penonton bisa jadi ikut menari karena trance(Mendem) Kostum dan riasan sangat sederhana. Pertunjukkan Calung pada saat tertentu mengajak penonoton ikut menari bersama penari.
Dalam wilayah budaya Jawa, budaya masyarakat tutur Penginyingan menjadi ciri pembeda dengan budaya Keraton sebagaimana dijelaskan didepan. Budaya Keraton diciptakan oleh pujangga,tertulis, rumit, sakral dan tertutup. Senaliknya, produk budaya masyarakat tutur Penginyongan bersifat anonym, collection, tradisi lisan sopran dan terbuka .Simpulan ini dapat dilihat pada setiap produk budaya masyarakat tutur Penginyongan terutama dari jenis seni. Seni wayanggagrag salah satu daerah bahasa Penginyongan , misalnya Banyumasan bentuknya pendek sunggungan, sederhana (jarang dan besar-besar0, pewarnaanya menggunakan jenis warna yang cenderung kusam (merah saga).
Hal ini berbeda dengan gaya Solo , jenis wayang panjang, sungingan rumit, pewarnaanya sangat detail dan beraneka, cerah sehingga terkesan mewah.Bentuk wayang gaya (gagrag) solo tidak sama dengan gagrag banyumasan. wayang Werkudara gagrag Solo pakaian (kain celana) sampai dibawah lutut, sebaliknya Bima gagrab Banyumas lututnya kelihatan. Bentuk wayang Solo pastlah kurus tinggi, dengan tatahan dan pengecetan (sungging) yang sangat rumit. Sebaliknya wayang Banyumasan bentuknya pendek dan gemuk serta disunging dengan sederhana. Meskipun wajah wayang Bima, gatutkaca, Antareja berwarna hitam namun diberi kumis bercat merah. Tidaklah aneh sebuah wayang ukuran kecil gaya Solo harganya pastilah mahal. sebaliknya wayang gaya Banyumasan pastilah murah. Keadaan ini justru menguntungkan karena gaya Banyumasan menjadi gampang didapat kondisi ini saya alami sewaktu masih kecil sekitar tahun 1970-an.
Pada seni gerak tarian sangat sederhana dan berulang-ulang sehingga sangat mudah ditiru penonton. Pada corak batik , jika corak Solo runcing-runcing dan isinya rumit, gaya Banyumasan bercorak sederhana bulat-bulat isisnya sangat jarang. Warna batik Banyumasan sangat khas dibandingkan warna batik Solo yang beraneka dan terkesan mewah. Pakaian adat Solo dan Banyumas pastilah berlawanan. banyumasan menggunakan ikat kepala yang praktis dan gampang dibongkar berwarna gelap sementara gaya Solo rapi , terbentuk dan beraneka corak. Senjata masyarakat Jawa Keris yang berbentuk runcing sementara Banyumasan berbentu kbulatt disebut "Kudi".Meskipun jenis kuliner Banyumasan beraneka namun umumnya rasa didominasi oleh rasa asin dan pedas berbeda dengan rasa nagarigung yang dominan manis dan bersantan
Ciri pembeda itulah yang menjadikan budaya masyarakat tutur Penginyongan termasuk Basa Penginyongan itu sebagai identitas yang berbeda dengan wilayah bahasa lain di Jawa ini, bahkan di Indonesia, Inilah ciri pembeda mengapa Bahasa Penginyongan ebagai produk budaya Penginyongan memiliki sifat yang sangat terbuka dan setara (Egaliter?).Kendati ang sangat kaya ini justru banyak yang tidak dimengerti bukan saja oleh anak muda tetapi justru oleh orang tua.
Salah satu cara mengatasi ketidak"pedean", ketidakmengertian dna kurangnya kesadaran berbahasa Jawa Penginyongan perlu disusun arah dan strategi yang jelas. Arah kebijkan , misalnya difokuskan kepada remaja usia sekolah dengan strategi melalui jaur pendidikan formal mulai dari anak usia dini, sekolah dasar sampai ke jenkang menengah ke atas. Peran pemerintah dan keluarga sebagai bagian masyarakat enjadisangat strategis. Orang tua harus menjadi teladan dan memberikan ruang kosong bagi anak-anaknya untuk berkembang dengan bahasa ibunya. Strategi berikutnya adalah perlunya payung hukum dan media.
Untuk payung hukum kita sudah memiliki Perda, Pergub, dan mungkin Perbup. Tinggal bagimana mengimplementasikan di ranah keluarga , sekolah dan masyarakat. Media menjadi kunci berhasil tidaknya strategi ini. Era global ditandai dengan teknologi iformasi yang snagat maju.Barang siapa menguasai media itulah yang berhasil menguasai segala aspek kehidupan. Inilah klemahan kita sehingga budaya kita menjadi terpinggirkan oleh budaya global.Karena kita tidak atau belum mampu ikut bermain dalam arus pusaran global. Kita seusia saya masih beruntung sewaktu kecil masih dikepung oleh lingkungan budaya lokal melalui berbagai media. Oleh karena itu saya sangat percaya bahwa penggunaan media merupakan kunci lestarinya budaya kita, termasuk di dalamnya Bahasa Penginyongan.Namun, setidaknya jika kita memliki kemauan pasti kita mampu mempertahankan apa yang kita miliki .Sikap loyalitas bahasa bagi keluarga Jawa masyarakat tutur bahasa Penginyongan menjadi penting dan kunci ke arah sikap loyalitas yang positip. Kalau tidak mulai dari sekarang kapan lagi?
Saniki Mawon Ngendikan Basa Penginyongan
Berdasar uraian diatas dapat disimpulkan bahwa berbagaifaktoryang mempengaruhi merosotnya sikap loyalitas bagi masyarakat tutur bahasa Penginyongan dapat diatasi melalui arah dan strategi yang jelas. Arah kebjakan ditujukan kepada penerus yaitu anak usia sekolah mulai dari PAUD sampai sekolah menengah. Strategi yang paling efektif memalui jalur pendidikan. Ranah eluarga merupakan kunci suksesnya strategi tersebut karena orang tua adalah teladan bagi anaknya.
Demikian sekelumit makalah ini. semoga dapat menjadi pemantik diskusi siang ini, terima kasih dan dirgahayu maajalh ANCAS semoga jaya dan berkembang, menjadi milik kita, wahana identitas kita.Amin.
Karangnangka 17 April 2016
Mulyono Harsosuwito Putra
Institut Studi Pedesaan dan Kawasan
0 comments:
Post a Comment