Artikel Terbaru

Saturday, October 8, 2016

Catatan Pendidikan Kang Mul Grabagan dan Mengaji Jaman Lampu Petromaks

Ditengah perbincangan pro dan kontra Full Day School yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Efendi dan ditengah ketidak pastian sitem pendidikan Indonesia yang selalu berubah-bah 

Namun selalu kandas karena banyak kebijakan yang dikeluarkan lebih bersifat kepentingan jangka pendek dan bersifat politis ,bahkan terkesan dipaksakan hanya sekedar memenuhi sang penguasa.

Dari pada energi dan pikiran kita dihabiskan dengan diskusi yang berkepanjangan lebih baik kembali menengok sejarah pendidikan Islam non formal pada masa lalu yang tumbuh dan berkembang sangat subur pada sore dan malam hari di Tajug,Langgar,dan Masjid.

Dahulu Tajug,Langgar dan Masjid menjadi pusat kegiatan dan aktivitas belajar ilmu agama Islam anak -anak kampung di wilayah Banyumas, pulau Jawa bahkan menyeluruh di pelosok-pelosok kampung di Indonesia

Sebelum waktu sholat Maghrib tiba kira-kira jam 17 sore,biasanya anak-anak kampung sudah berdadan rapi memakai sarung ,baju lengan panjang dan kopyah hitam (kupluk) bergegas menuju Tajug,Langgar dan Masjid yang dekat rumah tempat tinggalnya.

Berangkat bersama dengan sahabat-sahabatnya menyusuri jalan yang belum beraspal sembari bercanda ria,tentang kegiatan di sekolah atau madrasah, bermain dikebun ,disawah dan bantaran sungai menjadi yang dilakukan sebelum mengaji.

Masjid ,Tajug dan Langgar menjadi tempat paling ramai pada malam hari karena anak-anak kampung selepas sholat maghrib berjamaah mulai menghafal pelajaran Kitab Juz Amma,Kitab al-Qur;an ,Kitab Kuning menunggu Pak Kyai menyelsaikan dzikir dan wiridnya.

Biasanya Pak Kyai memberikan pengajian dibantu anak-anak kampung yang sudah mengaji  Kitab Kuning untuk mengajar Kitab Juz Amma dan Kitab al- Qur;an jika yang mengaji cukup banyak jumlahnya dan Pak Kyai mengajar Kitab Kuning setelah anak-anak yang mengaji Kitab Juz Amma dan Kitab al -Qur;an selesai semua,

Pada malam hari sesudah mengaji Masjid ,Tajug dan Langgar tetap ramai menjadi tempat berdiskusi membincangkan aktivitas sehari-hari dan mengaji dan tertidur pulas di ruang dalam sampai menjelang sholat subuh dan pulang kerumah sesudah melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Sayang di sayang pelan-pelan seiring dengan kemajuan dan perubahan peradaban suasana kebersamaan mengaji yang menjadi ciri khas di kampung -kampung mulai tergusur oleh sistem baru sejak era tahun 1990 dengan membanjirnya TPA dan TPQ dengan sisitem pengelolaan dan pendidikan sebagaima pendidikan formal,

Kehadiran TPA dan TPQ lambat laun meruntuhkan dan memporak-porandakan tatanan lama yang apabila dipahami lebih jauh justru sistem pendidikan Islam yang besifat non formal jauh lebih unggul dalam membangun solidaritas dan kemasyarakatn antar anak-anak kampung dengan menjadikan Masjid,Tajug dan Langgar menjadi tempat paling favorit dengan bimbingan para Kyai dan guru ngaji.

Paling menarik mengaji pada malam hari pada jaman itu, keperluan kegaiatan belajar mengajar seperti membeli kapur tulis, minyak tanah ditanggung bersama oleh anak -anak kampung dengan suka rela sesuia dengan kekuatan masing-masing orang tua,yang kita kenal dengan istilah Grabagan

Kata Grabagan sebuah kata yang pernah ngetrend di kampung-kampung pada jaman dahulu yang kini hilang ditelan waktu dan perubahan jaman,

Grabagan atau Grabadan adalah sebuah bentuk iuran gotong royong bersifat suka rela untuk membeli perlengkapan ngaji (belajar) sekolah Arab (Madrasah Diniyah sekarang) ,Tajug ,Langgar dan Masjid.

Bentuk iuran Grabagan sangat variatif ada yang memberikan daun cengkeh dan uang, Karena pada saat itu tanaman cengkeh sedang mengalami masa keyajaan hampir semua warga desa menanam cengkeh,

Baik di depan rumah,samping rumah,belakang rumah,pekarangan,dan kebun,Daun cengkeh ditusuk dengan sada (lidi) pohon kelapa yang diambil setelah usai pulang sekolah.

Kemudian dibawa saat berangkat ngaji dan dikumpulkan di tempat yang disediakan oleh guru ngaji (ustadz.
Setelah terkumpul daun-daun cengkeh itu lalu dijual dan dibelikan untuk perlengkapan belajar mengajar seperti latung,kapur tulis dll.

Maklum saat itu lampu penerangan yang digunakan dirumah rumah adalah petromaks,teplok,sentir.
Listrik belum sampai ke desa-desa,kalaupun ada hanya orang kaya yang mempunyai mesin diesel.

Alat penerangan menggunkan lampu Petromaks yang membutuhkan minyak tanah sebagai bahan bakarnya.
Lampu Petromaks biasanya dinyalakan sebelum sholat Mahgrib,disii terlebih dahulu dengan latung (minyak tanah),diisi sepirtus lalu dinyalakan dengan korek api .kemudian dipompa sekian lamanya baru menyala.

Iuran Grabagan juga digunakan untuk membeli suku cadang Petromaks seperti jarum ,kaos lampu,puyer,dan suku cadang lainnya.

Papan tulis pun masih menggunakan papan kayu albasia yang dicat hitam mejadi tempat guru ngaji menulis dengan kapur tulis.

Alat pembersihnya menggunkan kain atau bantal berbentuk segi empat yang isisnya potongan-potongan kecil kain yang sudah tidak digunakan oleh penjahit,

Kini semuanya tinggal kenangan semata semua telah berubah karena tuntutan jaman atau memang kita yang sudah melupakan warisan berharga sistem belajar pada malam hari (mengaji), karena anak-anak kampung sama dengan anak-anak kota sibuk dengan mata pelajaran sekolah formal .

Tanpa kita sadari model pendidikan jaman dahulu sebenarnya telah menerapkan sistem pendidikan full day school dengan menggabungkan pendidikan formal,pendidikan keluarga dan pendidikan non formal  yang jauh lebih bagus dan praktis

Karena anak-anak kampung dapat belajar di pagi hari, bermain dengan lingkungan tempat tinggal pada siang hari dan sore harinya pergi di Masjid ,Tajug dan Langgar mengaji pada Pak Kyai serta pulang sehabis sholat Isya berjamaah.


Karangnangka 12 Agustus 2016

Mulyono Harsosuwito Putra
Ketua Institut Studi Pedesaan dan Kawasan

0 comments:

Post a Comment