Artikel Terbaru

Monday, April 9, 2018

SINDHEN


Dalam sebuah pagelaran kesenian tradisonal Jawa wayang kulit salah satu instrumen penting yaitu dalang sebagai pemeran utamaa dibantu pemeran pendamping lainnya yaitu nayaga ,dan sindhen.
Pesindhèn atau sindhèn adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orchestra gamelan, yang umumnya sebagai penyanyi satu-satunya.

Dalam Kamus Bahasa Jawa, sinden/sin·den/ /sindén/ n penyanyi wanita pada seni gamelan atau dalam pertunjukan wayang (golek, kulit), sedangkan menyinden/ me-nyin-den/ v menyanyikan lagu pada seni karawitan atau pada pertunjukan wayang (golek, kulit): meskipun sejak umur tujuh belas tahun sudah belajar -, sekarang ia lebih menekuni rias pengantin. Pesindhèn yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.

Menurut Ki Mujoko Raharjo (1997:24) Sinden berasal dari kata “pasindhian” yang berarti yang kaya akan lagu atau yang melagukan (melantunkan lagu). Sinden juga disebut waranggana "wara" berarti seseorang berjenis kelamin wanita, dan "anggana" berarti sendiri.

Pada zaman dahulu waranggana adalah satu-satunya wanita dalam panggung pergelaran wayang ataupun pentas klenengan. Sinden memang seorang wanita yang menyanyi sesuai dengan gendhing yang di sajikan baik dalam klenengan maupun pergelaran wayang.

Istilah Sinden juga digunakan untuk menyebut hal yang sama di beberapa daerah seperti Banyumas, Yogyakarta, Sunda, Jawa Timur dan daerah lainnya, yang berhubungan dengan pergelaran wayang maupun klenengan. Sinden tidak hanya tampil solo (satu orang) dalam pergelaran saat ini pada pertunjukan wayang bisa mencapai delapan hingga sepuluh orang bahkan lebih untuk pergelaran yang sifatnya spektakuler.

Sinden adalah nembang mbarengi gamelan. Penjelasannya adalah vokal putri yang menyertai karawitan dilakukan oleh seorang pesinden, dahulu istilahnya taledhek, bahkan sekarang ada yang menyebut nama lain yang manis yang swarawati atau waranggana. Dalam sumber yang akan dikaji sinden dapat juga disebut waranggana “wara” yang berarti wanita, dan “anggana” yang berarti sendiri, dalam hal ini berarti wanita yang sendiri dalam seni karawitan maupun seni pertunjukan wayang, dan dalam Kamus Bahasa Kawi “waranggana” berarti bidadari.(Wojowaskito:1983)

Urutan menurut bahasa sinonimnya yaitu taledhek-sinden-waranggana-widowati-swarawati. Semua mempunyai arti yang sama dengan sinden yang dimaksud dalam keterangan diatas. Waranggana dibagi menjadi 2, yakni Waranggana Tayub dan Waranggana Pesinden. Waranggana Tayub adalah penari wanita kesenian tayub yang juga memiliki keahlian menembang, sedangkan Waranggana Pesinden hanya memiliki keahlian menari saja dan khusus untuk pertunjukan wayang kulit.(Bahrul Huda:2005:64)

Sinden mempunyai keindahan dalam seni swara yang dapat dinikmati bagi semua masyarakat umum yang mendengarkan dan melihat seni pertunjukan itu baik dalam seni karawitan maupun dalam pertunjukan wayang kulit. Misalnya seorang dalang sedang suluk, maka secara bersamaan menyanyikan tembang adalah pesinden dan wiraswara atau penggerong, yaitu koor yang dinyanyikan oleh beberapa orang pria.

Beberapa sumber yang dapat menjelaskan kemunculan sinden di telusuri pada kebudayaan jawa berupa peninggalan candi Borobudur. Pada relief candi Borobudur sekitar 1800-an dan candi-candi prambanan hindu sekitar tahun 915 terdapat banyak adegan-adegan gadis-gadis menari, para musisi bermain seruling, sitar, silofon, kuningan dan bambu, tanduk, kerang, dan simbal serta beberapa orang penyanyi perempuan serta penonton yang menyaksikan.J S Brandon:1989:26)

Pada abad XIX oleh R.ng. Djagakusuma dalam memainkan gamelan yaitu dalam wadah karawitan dengan memakai penyanyi laki-laki yang mempunyai peran sebagai penggiring tari bedaya dan upacara ritual di istana, kemudian mulai menyebar di luar istana bersama pertunjukan wayang kulit dan pertunjukan tari. (Sutrisno:1976:130)

Sinden pada saat itu berfungsi sebagai perjamaan atau pagelaran tari bedaya ketawang dan tari bedaya Srimpi. Bertugas nyindeni bedhayan-bedhayan untuk laki-laki (penggerong) dan untuk perempuan sinden, keduanya bertugas membawa gamelan pusaka dalam gerebek besar. Sedangkan sinden yang ada di dalam keraton di bagi menjadi dua fungsi. Pertama, bertugas sebagai penggiring tari bedhaya dan kedua sinden yang bertugas menyindeni gendhing-gendhing yang bukan bedhayan seperti niyaga, taledhek, badut, wiraswara.(Isnin Solihin:2005:80)

Sinden adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seni suara vokal atau koor (yang juga dapat dilakukan oleh sekelompok) pesinden wanita atau pesinden pria (seperti contoh sindenan bedaya srimpi) maupun vokal putri (yang
sekarang lazim dilakukan oleh pesinden waranggana atau swarawati) dengan lagu yang berirama ritmis yaitu tidak ketat mengikuti gendhing.(Supanggah:1988:30)
Sinden sangat berhubungan erat dengan kajian masalah yang diterima dan umum dalam masyarakat Jawa yaitu dalam kisah sejarah karawitan, sejarah wayang kulit, sejarah tari bedhaya Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta serta dalam sejarah kesenian tayub.

Pada pergelaran wayang zaman dulu, Sinden duduk di belakang Dalang, tepatnya di belakang tukang gender dan di depan tukang Kendhang. Hanya seorang diri dan biasanya istri dari Dalangnya ataupun salah satu pengrawit dalam pergelaran tersebut.

Tetapi seiring perkembangan zaman, terutama di era Ki Narto Sabdho yang melakukan berbagai pengembangan, Sinden selalu tempatnya menghadap ke penonton tepatnya di sebelah kanan Dalang dan membelakangi simpingan wayang dengan jumlah lebih dari dua orang.

Di jaman  modern sekarang ini Sinden mendapatkan posisi yang hampir sama dengan artis penyanyiCampursari, bahkan Sinden tidak hanya dibutuhkan untuk mahir dalam menyajikan lagu tetapi juga harus menjaga penampilan, dengan berpakaian yang rapi dan menarik. Sinden tidak jarang menjadi "pepasren" (penghias) sebuah panggung pertunjukan wayang. Bila Sindennya cantik-cantik dan muda yang nonton akan lebih kerasan dalam menikmati pertunjukan wayang.

Perkembangan wayang saat ini bahkan Sinden tidak hanya didominasi wanita tetapi telah muncul beberapa orang Sinden laki-laki yang mempunyai suara merdu seperti wanita, tetapi dalam dandannya Sinden ini tetap memakai pakaian adat jawa selayaknya pengrawit pria lainnya dan beberapa waktu lalu Sinden laki-laki ini malah menjadi trend para Dalang untuk menghasilkan nilai lebih pada pergelarannya.

Profesi seorang Sinden selalu tidak bisa lepas dari iringan musik jawa yang sangat akrab di dengar di kalangan masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah sejak zaman kerajaan, musik itu terdengar tradisional karena menggunakan alat-alat tradisional yang dibuat dari hasil bumi seperti gamelan, seruling, gong, genong dan lain-lain. Harmonisasi musik itu bernama Musik Campursari

Karangnangka 2 April 2018
Sumber :Diolah dari Literatur dan Kepustakaan

0 comments:

Post a Comment